Contoh pengalaman yang mengesankan

Muh. Rizky Eka Arlin. Seperti itulah nama saya sesuai yang tertulis di akta kelahiran. Lahir sebagai anak pertama pada 14 Mei 1997. Saya lahir di tengah-tengah keluarga sederhana namun harmonis dan tumbuh dengan didikan yang baik oleh dua orang tua yang sangat bertanggung jawab. Kedua orang tua saya mendidik saya untuk mandiri dari kecil tanpa mengurangi rasa sayang yang mereka berikan ke saya.

Masa-masa sekolah dasar saya lewati dengan baik. Peringkat 1 kelas tidak pernah saya lepaskan dari genggaman saya. Berbagai lomba saya ikuti. Berbagai piagam dan piala saya dapatkan. Semuanya saya dedikasikan untuk orang tua saya sebagai ungkapan rasa terima kasih atas didikan mereka.

27 Desember 2008, saya melanggar larangan pulang larut malam. Waktu itu saya tidak minta izin untuk bisa pulang larut malam ke kedua orang tua saya, saya bahkan tidak memberi tahu mau ke mana saya waktu itu. Jam 9 malam saya pulang dari rumah teman saya. Ibu saya yang sedang sakit sangat kesal karena saya melanggar aturan yang dibuatnya. Dengan menguatkan diri, iya menegakkan tubuhnya yang lemas itu hanya untuk menasihati saya. Dengan air mata yang bercucuran beliau mengungkapkan rasa khawatirnya yang teramat dalam. Setelah selesai menasihati saya, beliau kembali membaringkan tubuhnya. Sudah berhari-hari yang lalu tubuh beliau sudah lemas dan kurang bertenaga. Beberapa kali beliau diajak ke dokter oleh ayah saya, tapi beliau menolak dengan alasan baik-baik saja. Ibu saya memang terkenal dengan sifatnya yang tidak suka mengeluh. Tapi pada keesokan harinya, kondisi beliau bertambah parah. Beliau sudah tidak mampu bangkit dari tempat tidurnya. Maka dari itu, ayah saya langsung membawanya ke rumah sakit. Saya yang masih duduk di bangku kelas 6 Sekolah Dasar waktu itu hanya mampu mendoakan kesembuhan ibu saya.

Jam 3 sore saya ke rumah sakit untuk menjenguk beliau dan minta maaf atas kesalahan yang telah saya lakukan. Akan tetapi, ibu saya sudah tidak sadarkan diri. Beliau berada dalam kondisi koma. Kata ayah saya, beliau menderita infeksi saluran pendengaran yang komplikasi dengan diabetes.

Sore, 31 Desember 2009, ibu saya dirujuk ke rumah sakit Pelamonia Makassar karena fasilitas yang ada di rumah sakit di daerah saya tidak memadai untuk menunjang proses kesembuhan ibu saya. Pada jam 9 malam, saya sudah tidur. Satu jam berikutnya saya dibangunkan oleh tante saya yang sejak pagi tadi berkumpul di rumah saya bersama sanak keluarga yang lain untuk menanti kabar tentang ibu saya. Dengan suara parau dan nada yang pilu tante saya yang berkata “tidak adami ibumu, nak”. Kalimat yang sangat singkat itu sontak membuat saya terdiam beberapa detik karena tak mampu menerima kenyataan. Tante saya yang melihat saya terdiam, tiba-tiba menangis dan membuat saya tak mampu membendung rasa sedih saya. Kenangan yang saya buat bersama ibu saya, teringat satu per satu. Perasaan saya waktu itu sangat tidak karuan, saya merasa dihempaskan dari luar angkasa ke bumi. Dada saya sesak, sampai-sampai tak bisa menyambung satu tarikan nafas dengan tarikan nafas selanjutnya. Saya menangis sejadi-jadinya yang sontak memacu suara tangis yang lebih besar dari sanak keluarga yang lain.

Setelah mendengar kabar itu, saya dan keluarga saya langsung menuju kabupaten Barru, tempat ibu saya lahir sekaligus menjadi tempat ibu saya akan dikebumikan. Saya tiba di Barru pada jam 11 malam. Masih dengan perasaan sedih yang amat mendalam, saya menanti jenazah ibu saya dibawa dari rumah sakit yang jaraknya kurang lebih 100 km dari tempat saya berada waktu itu.

Pukul 00.01 WITA, tanggal di ponsel berubah dari 31 Desember 2008 menjadi 1 Januari 2009. Jalanan telah dipenuhi dengan kendaraan-kendaraan orang yang merayakan tahun baru. Dengan ceria dan sangat senang, mereka menyalakan kembang api, membakar petasan, dan membunyikan terompet. Entah apa yang membuat mereka senang, pergantian tahun tidak akan mendatangkan perubahan apapun dan tidak berarti apapun, sebuah pernyataan sinis sebagai pelampiasan kesedihan keluar dari pikiran saya. Setelah 1 jam berlalu, suara petasan dan terompet sudah menghilang dan berganti menjadi suara sirene ambulans yang mendengung di telinga saya. Saya yang sebelumnya sinis, kini merasa lebih buruk dari orang-orang yang merayakan tahun baru tadi. Bagaimana tidak, kalimat terakhir yang saya dengar dari ibu saya adalah satu ungkapan kekecewaan. Sanak keluarga di sekitar saya berhamburan ke luar rumah untuk melihat jenazah ibu saya. Tak lama kemudian, dengan berbalut kain batik cokelat, jenazah ibu saya diangkat masuk ke dalam rumah. Saya yang sudah tak mampu lagi menangis, tiba-tiba jatuh tak sadarkan diri untuk beberapa detik karena masih tak mampu menerima apa yang terjadi pada kehidupan saya ini. Setelah merasa kuat, saya berdiri dan langsung menuju ke tempat ibu saya terbaring kaku. Saya menyibakkan kain yang menutupi wajah ibu saya, saya seperti melihat orang yang sedang tidur sambil tersenyum. Orang-orang pada malam itu memang sedang membicarakan wajah ibu saya yang seakan-akan tersenyum kecil di pembaringannya. Berbagai sifat baik dari ibu saya dibicarakan oleh orang-orang di sekitar saya. Tanpa menghiraukan pembicaraan itu, saya meminta maaf atas kesalahan saya dan mencium kening ibu saya. Setelah itu saya kembali ke tempat saya semula yaitu di sudut ruangan. Ayah saya meminta saya untuk tidur agar saya bisa ikut besok pagi ke pemakaman umum tempat ibu saya akan dimakamkan. Dengan kondisi seperti ini, tidak akan ada orang yang bisa tidur dengan nyenyak. Tetapi demi ikut dalam pemakaman ibu saya, saya memaksakan mata saya untuk terpejam. Pada akhirnya, mata sembab ini sudah tidak memberontak lagi. Saya akhirnya bisa tidur.

Saya bangun untuk melaksanakan salat subuh. Saya tak berhenti berdoa sambil sambil menunggu proses pemandian jenazah. Setelah dimandikan, dengan menggunakan keranda, ibu saya dibawa ke masjid dan ditempatkan di depan setelah menurunkannya dari keranda. Proses salat jenazah berlangsung dengan lancar. Jenazah ibu saya diangkat kembali ke atas keranda dan ditutup dengan kain berwarna hijau. Saya belum mampu ikut untuk mengangkat keranda jenazah ibu saya, jadi saya hanya bisa menyaksikan keranda berisikan jenazah ibu saya diangkat oleh ayah dan keluarga saya yang lain. Di tempat pemakaman umum, prosesi pemakaman dilaksanakan. Saya tenang-tenang saja. Tapi ketika tanah pertama untuk mengubur ibu saya dijatuhkan, sekali lagi saya tak mampu menahan tangis.

Peristiwa itu menjadi 5 hari yang sangat panjang dan menyedihkan bagi saya. Saya yang merasa belum sempat membahagiakan ibu saya, kini sangat menyesal. Dalam hati saya, saya berkata “Seandainya ibu saya masih hidup, saya berjanji untuk tidak mengecewakannya lagi. Saya akan berbakti dan membuat ibu saya bangga.” Tapi apalah daya saya sebagai manusia biasa. Tak akan ada yang mampu melawan kehendak Ilahi. Yang mampu saya lakukan hanya berdoa kepada Tuhan dan berbakti kepada ayah saya. Saya bertekad untuk tidak akan mengecewakan beliau dan akan membanggakan beliau dengan apa yang akan saya raih kelak.

Pesan saya untuk teman-teman yang masih memiliki orang tua yang lengkap, jangan sekali-kali mengecewakan mereka. Berbaktilah kepada mereka. Saya tidak mau kalian juga merasakan penyesalan yang sangat besar sama seperti yang saya rasakan.

0 Response to "Contoh pengalaman yang mengesankan"

Posting Komentar